Sabtu, 09 Oktober 2010

MODERNISASI SEBAGAI KASUS PERUBAHAN SOSIAL DAN BUDAYA



Dalam suatu proses modernisasi, suatu proses perubahan yang direncanakan, melibatkan semua kondisi atau nilai-nilai sosial dan kebudayaan secara integratif. Atas dasar ini, semua pihak, apakah tokoh ? Tokoh masyarakat, formal atau non-formal, anggota masyarakat lainnya, apakah dalam skala individual atau pun dalam skala kelompok, seyogianya memahami dan menyadari, bahwa, manakala salah satu aspek atau unsur sosial atau kebudayaan mengalami perubahan, maka unsur-unsur lainnya mesti menghadapi dan mengharmonisikan kondisinya dengan unsur-unsur lain yang telah berubah terlebih dulu.
Oleh karena itu mesti memahami dan menyadari bahwa sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan ada yang berkualifikasi norma (norm) dan nilai (value). Di mana norma skala keberlakuannya tergantung pada aspek waktu, ruang (tempat, dan kelompok sosial yang bersangkutan; sedangkan nilai (value) skala keberlakuannya lebih universal. Dalam tatanan masyarakat yang maju atau modern, maka nilai-nilai sosial dan kultural yang bersifat universal mendominasi dan mengisi semua mosaik kehidupan masyarakat yang bersangkutan.
Orientasi Perubahan
Yang dimaksudkan orientasi atau arah perubahan di sini meliputi beberapa orientasi, antara lain (1) perubahan dengan orientasi pada upaya meninggalkan faktor-faktor atau unsur-unsur kehidupan sosial yang mesti ditinggalkan atau diubah, (2) perubahan dengan orientasi pada suatu bentuk atau unsur yang memang bentuk atau unsur baru, (3) suatu perubahan yang berorientasi pada bentuk, unsur, atau nilai yang telah eksis atau ada pada masa lampau. Tidaklah jarang suatu masyarakat atau bangsa yang selain berupaya mengadakan proses modernisasi pada berbagai bidang kehidupan, apakah aspek ekonomis, birokrasi, pertahanan keamanan, dan bidang iptek; namun demikian, tidaklah luput perhatian masyarakat atau bangsa yang bersangkutan untuk berupaya menyelusuri, mengeksplorasi, dan menggali serta menemukan unsur-unsur atau nilai-nilai kepribadian atau jatidiri sebagai bangsa yang bermartabat.
Dalam memantapkan orientasi suatu proses perubahan, ada beberapa faktor yang memberikan kekuatan pada gerak perubahan tersebut, yang antara lain adalah sebagai berikut, (1) suatu sikap, baik skala individu maupun skala kelompok, yang mampu menghargai karya pihak lain, tanpa dilihat dari skala besar atau kecilnya produktivitas kerja itu sendiri, (2) adanya kemampuan untuk mentolerir adanya sejumlah penyimpangan dari bentuk-bentuk atau unsur-unsur rutinitas, sebab pada hakekatnya salah satu pendorong perubahan adanya individu-individu yang menyimpang dari hal-hal yang rutin., (3) mengokohkan suatu kebiasaan atau sikap mental yang mampu memberikan penghargaan (reward) kepada pihak lain (individual, kelompok) yang berprestasi dalam berinovasi, baik dalam bidang sosial, ekonomi, dan iptek, (4) adanya atau tersedianya fasilitas dan pelayanan pendidikan dan pelatihan yang memiliki spesifikasi dan kualifikasi progresif, demokratis, dan terbuka bagi semua pihak yang membutuhkannya.
Jejak Langkah Modernisasi
Modernisasi, menunjukkan suatu proses dari serangkaian upaya untuk menuju atau menciptakan nilai-nilai (fisik, material dan sosial) yang bersifat atau berkualifikasi universal, rasional, dan fungsional. Lazimnya suka dipertentangkan dengan nilai-nilai tradisi. Modernisasi berasal dari kata modern (maju), modernity (modernitas), yang diartikan sebagai nilai-nilai yang keberlakuan dalam aspek ruang, waktu, dan kelompok sosialnya lebih luas atau universal, itulah spesifikasi nilai atau values. Sedangkan yang lazim dipertentangkan dengan konsep modern adalah tradisi, yang berarti barang sesuatu yang diperoleh seseorang atau kelompok melalui proses pewarisan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Umumnya tradisi meliputi sejumlah norma (norms) yang keberlakuannya tergantung pada (depend on) ruang (tempat), waktu, dan kelompok (masyarakat) tertentu.
Spesifikasi norma-norma dan tradisi bila dilihat atas dasar proses modernisasi adalah sebagai berikut, (1) ada norma-norma yang bersumber dari tradisi itu, boleh dikatakan sebagai penghambat kemajuan atau proses modernisasi, (2) ada pula sejumlah norma atau tradisi yang memiliki potensi untuk dikembangkan, disempurnakan, dilakukan pencerahan, atau dimodifikasi sehingga kondusif dalam menghadapi proses modernisasi, (3) ada pula yang betul-betul memiliki konsistensi dan relevansi dengan nilai-nilai baru. Dalam kaitannya dengan modernisasi masyarakat dengan nilai-nilai tradisi ini, maka ditampilkan spesifikasi atau kualifikasi masyarakat modern, yaitu bahwa masyarakat atau orang yang tergolong modern (maju) adalah mereka yang terbebas dari kepercayaan terhadap tahyul. Modernisasi menunjukkan suatu perkembangan dari struktur sistem sosial, suatu bentuk perubahan yang berkelanjutan pada aspek-aspek kehidupan ekonomi, politik, pendidikan, tradisi dan kepercayaan dari suatu masyarakat, atau satuan sosial tertentu.
Modernisasi suatu kelompok satuan sosial atau masyarakat, menampilkan suatu pengertian yang berkenaan dengan bentuk upaya untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang sadar dan kondusif terhadap tuntutan dari tatanan kehidupan yang semakin meng-global pada saat kini dan mendatang. Diharapkan dari proses menduniakan seseorang atau masyarakat yang bersangkutan, manakala dihadapkan pada arus globalisasi tatanan kehidupan manusia, suatu masyarakat tertentu (misalnya masyarakat Indonesia) tidaklah sekedar memperlihatkan suatu fenomena kebengongan semata, tetapi diharapkan mampu merespons, melibatkan diri dan memanfaatkannya secara signifikan bagi eksistensi bagi dirinya, sesamanya, dan lingkungan sekitarnya. Adapun spesifikasi sikap mental seseorang atau kelompok yang kondusif untuk mengadopsi dan mengadaptasi proses modernisasi adalah, (1) nilai budaya atau sikap mental yang senantiasa berorientasi ke masa depan (2) nilai budaya atau sikap mental yang senantiasa berhasrat mengeksplorasi dan mengeksploitasi potensi-potensi sumber daya alam, dan terbuka bagi pengembangan inovasi bidang iptek. (3) nilai budaya atau sikap mental yang siap menilai tinggi suatu prestasi dan tidak menilai tinggi status sosial, karena status ini seringkali dijadikan suatu predikat yang bernuansa gengsi pribadi yang sifat normatif, sedangkan penilai obyektif hanya bisa didasarkan pada konsep seperti apa yang dikemukakan oleh D.C. Mc Clelland (Koentjaraningrat, 1985), yaitu achievement-oriented, (4) nilai budaya atau sikap mental yang bersedia menilai tinggi usaha fihak lain yang mampu meraih prestasi atas kerja kerasnya sendiri.
Tanpa harus suatu masyarakat berubah seperti orang Barat, dan tanpa harus bergaya hidup seperti orang Barat, namun unsur-unsur iptek Barat tidak ada salahnya untuk ditiru, diambil alih, diadopsi, diadaptasi, dipinjam, bahkan dibeli. Manakala persyaratan ini telah dipenuhi dan keempat nilai budaya atau sikap mental yang telah ditampilkan telah dimiliki oleh suatu masyarakat tersebut. Khusus untuk masyarakat di Indonesia, sejarah masa lampau mengajarkan bahwa sistem ekonomi, politik, dan kebudayaan dari kerajaan-kerajaan besar di Asia seperti India dan Cina, yang diadopsi dan diadaptasi oleh kerajaan-kerajaan di Nusantara ini, seperti Sriwijaya dan Majapahit, namun fakta sejarah tidak membuktikan bahwa orang-orang Sriwijaya dan Majapahit, dalam pengadopsian dan pengadaptasian nilai-nilai kebudayaan tadi sekaligus menjadi orang India atau Cina.
Proses modernisasi sampai saat ini masih tampak dimonopoli oleh masyarakat perkotaan (urban community), terutama di kota-kota Negara Sedang Berkembang, seperti halnya di Indonesia. Kota-kota di negara-negara sedang berkembang menjadi pusat-pusat modernisasi yang diaktualisasikan oleh berbagai bentuk kegiatan pembangunan, baik aspek fisik-material, sosio-kultural, maupun aspek mental-spiritual. Kecenderungan-kecenderungan seperti ini, menjadikan daerah perkotaan sebagai daerah yang banyak menjanjikan kehidupan yang lebih baik bagi penduduk pedesaan, terutama bagi generasi mudanya. Obsesi semacam ini menjadi pendorong kuat bagi penduduk pedesaan untuk beramai-ramai membanjiri dan memadati setiap sudut daerah perkotaan, dalam suatu proses sosial yang disebut urbanisasi. Fenomena demografis seperti ini, selanjutnya menjadi salah satu sumber permasalahan bagi kebijakan-kebijakan dalam upaya penataan ruang dan kehidupan masyarakat perkotaan. Sampai dengan saat sekarang ini masalah perkotaan ini masih menunjukkan gelagat yang semakin ruwet dan kompleks.

Perilaku Kolektif


Definisi perilaku kolektif seperti ditulis Yusron Razak (editor) dalam Sosiologi Sebuah Pengantar adalah sebagai berikut, Horton dan Hunt berpendapat bahwa perilaku kolektif ialah mobilisasi berlandaskan pandangan yang mendefinisikan kembali tindakan sosial, menurut Milgran dan Touch ialah suatu perilaku yang lahir secara spontan, relatif, tidak terorganisasi serta hampir tidak bisa diduga sebelumnya, proses kelanjutannya tidak terencana dan hanya tergantung pada stimulasi timbal balik yang muncul dikalangan para pelakunya, dan senada pula dengan pendapat Robetson . Dapat kami simpulkan dari definisi-definisi tersebut bahwa perilaku kolektif adalah perilaku yang (1) dilakukan bersama oleh sejumlah orang (2) bersifat spontanitas dan tidak terstruktur (3) tidak bersifat rutin, dan (4) merupakan tanggapan terhadap rangsangan tertentu.
Perilaku kolektif merupakan perilaku menyimpang namun berbeda dengan perilaku menyimpang karena perilaku kolektif merupakan tindakan bersama oleh sejumlah besar orang, bukan tindakan individu semata-mata. Bila seseorang melakukan pencurian di suatu toko, maka hal ini termasuk suatu perilaku menyimpang, namun bila sejumlah besar orang secara bersama-sama menyerbu toko-toko dan pusat-pusat perdagangan untuk melakukan pencurian atau penjarahan (sebagaimana di sejumah kota di Pulau Jawa pada tahun 1998 dan 1999), maka hal ini termasuk suatu perilaku kolektif. Perilaku kolektif meliputi perilaku kerumunan (crowd) dan gerakan sosial (civil society). Rangsangan yang memicu terjadinya perilaku kolektif bisa bersifat benda, peristiwa maupun ide.
Perilaku kolektif adalah istilah dalam sosiologi yang mengandung pengertian cara orang bertindak dalam kerumunan dan kelompok-kelompok besar yang tidak terorganisasi lainya. Jenis perilaku kolektif antara lain iseng, panic, dan rusuh. Perilaku seperti ini sering mincul dalam situasi yang membangkitkan emosi banyak orang. Situasi demikian itu terjadi dalam kegiatan olahraga, demonstrasi yamg memproses sesuatu, dan bencana alam.
Perilaku-perilaku kolektif biasanya terjadi karena menurutnya kata hati, tidak terencana, dan berlangsung singkat. Bagaimanapun juga, perilaku kolektif cocok digunakan dalam kerangka pengerahan masa. Misalnya, partai politik atau gerakan social yang memanfaatkan demonstrasi masal sebagai saran untuk melakukan perubahan social.
ilmuan yang berjasa merumuskan konsep mengenai perilaku kolektif adalah Gustav Le Bon, seorang ahli fisika dan ilmu social berkebangsaan Perancis yang pertama kali melakukan studi psikologis terhadap kerumunan pada tahun 1890-an.
 Tindakan anarkis entah itu berupa perusakan, pengeroyokan, pembakaran tersangka, penjarahan dan lain-lain pada dasarnya adalah hasil dari suatu perilaku kolektif  (collective behavior). Bila dinamakan perilaku kolektif, bukanlah semata-mata itu merupakan perilaku kelompok melainkan perilaku khas yang dilakukan  sekelompok orang yang anggotanya pada umumnya tidak saling kenal, bersifat spontan dan mudah cair (dalam arti menghentikan perilakunya).

Rencana Penulisan


    
      Pembuatan karya tulis, baik karya fiksi non fiksi, selalu diawali dengan sebuah rencana penulisan.  Rencana penulisan yang matang menjadi koridor bagi  penulis dalam bekerja. Dia memberi petunjuk ke arah mana tulisan itu mesti disusun. Sedangkan dalam proses pencarian data, rencana penulisan membantu penulis agar bisa cepat menseleksi data. Bila sesuai dengan arah penulisan data tersebut harus diambil. 

Demikian pula sebaliknya. Data-data yang tidak relevan tidak perlu dipertimbangkan untuk digunakan sebagai pendukung ide yang dikembangkan. Dalam bekerja seorang penulis berhadapan dengan data yang tidak terhitung jumlah. Sebuah rencana tulisan yang baik akan membantu penulis dengan cepat menseleksi data-data itu.

Dengan demikian akan dihasilkan karya tulis yang baik karena penulis mengerti dengan pasti batas-batas pekerjaannya. Penyusunan rencana penulisan berkaitan  erat  dengan ketrampilan atau kemampuan seorang penulis dalam mengklasifikasikan data dan informasi. 

Penulis bisa dengan cepat menyusun rencana penulisan apabila dia memiliki pengalaman membaca yang luas. Pemahamannya terhadap sesuatu bidang  sangat membantu dan menentukan kualitas rencana penulisan yang disusunnya. Ini terjadi karena semenjak awal dia memilih tema tulisan dalam benaknya sudah tersimpan banyak informasi tentang pilihannya.

            Rencana tulisan tidak akan diserahkan kepada  pembaca. Untuk sebuah kerja tim rencana tulisan berguna dalam pembentukan kerjasama antar anggota tim. Bila pekerjaan mesti diselesaikan dalam tenggat waktu terbatas, misalnya pembuatan laporan jurnalistik, rencana tulisan menjadi sangat penting.

1. Latar Belakang

Penyusunan karya tulis selalu diawali dengan  latar belakang masalah. Ini gambaran awal persoalan yang akan dibahas dalam tubuh tulisan yang akan dikerjakan. Akan tetapi rumusan ini masih merupakan sesuatu yang umum. Latar belakang masalah sebenarnya memberi beberapa kemungkinan arah tulisan.

Bagian ini merupakan pengantar bagi para pembaca sebelum mengerti pokok persoalan yang akan dibahas. Biasanya, terutama dalam jurnalistik, bagian ini berupa diskripsi atau narasi yang disusun berdasarkan hasil observasi awal penulis.

2. Rumusan Masalah dan sudut penulisan

Rumusan masalah merupakan formulasi disusun berdasarkan latar belakang masalah dengan tujuan mempertajam permasalahan. Sedangkan sudut penulisan merupakan pilihan perspektif, atau angel dalam  jurnalistik, dalam membahas atau menganalisis masalah yang dirumuskan.

Pilihan sudut pandang penulisan Sedangkan rumusan masalah bisa disederhanakan dalam sebuah pertanyaan besar. Pertanyaan itulah yang akan dijawab dalam tulisan tersebut. Jawaban itu merupakan sebuah uraian panjang dalam tubuh tulisan.


                         

3 Sistematika Penulisan

Tentu saja upaya menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah tidak dilakukan secara serta merta. Rumusan masalah merupakan sesuatu yang komplek, untuk mengantar pembaca memahaminya perlu dilakukan pembahasan masalah sebagian demi sebagian. Pembagian pembagian masalah dalam sebuah buku dikenal dengan bab, dalam drama atau film sinetron dikenal dengan episiode. Bila dianggap perlu pembagian itu bisa diperkecil lagi menjadi misalnya sub-bab. 

Hasil dari pembagian itu secara keseluruhan dikenal dengan sistematika penulisannya. Semestinya dalam tubuh tulisan sistematikan dipertegas dalam bab atau subbab. Dalam novel biasanya hanya dibagi dalam bab tidak ada sub bab karena penulisan mengharapkan pembaca menemukannya setelah mengikuti narasi dan diskripsi yang dikembangkannya. Namun dalam karya ilmiah sistematika diungkapkan secara tegas.

4. Sumber Tulisan

     Tulisan akan menjadi baik dan bisa dipercaya oleh pembaca apabila penulis mengambil pilihan nara sumber penulisan yang tepat. Misalnya dalam menulis sebuah kecelakaan lalu lintas sumber utama yang dipilih adalah pengemudi yang mengalami kecelakaan, saksi mata, petugas kepolisian, pengamat transportasi dan seterusnya.

     Pilihan nara sumber yang ditepat diharapkan akan memberikan informasi yang akurat tentang sesuatu hal atau kejadian yang akan ditulis. Untuk itu penulis mesti pandai mengembangkan pilihan nara sumber. Dia mesti menyiapkan diri dengan baik agar nara sumber tersebut bersedia mengungkapkan fakta/informasi yang dibutuhkan.


Contoh Rencana Tulisan: Kasus Mal Citraland


1.      Latar Belakang:
Mal atau pusat perbelanjaan di Jakarta berjumlah puluhan. Beberapa mal sudah berusia lebih dari sepuluh tahun, misalnya Sarinah, Ratu Plaza dan sebagainya. Kehadiran mal dalam jumlah besar itu menimbulkan persaingan. Tidak mengherankan apabila muncul kompetisi yang ketat.

2    Rumusan Masalah dan sudut penulisan:
Citraland merupakan salah satu mal kelas menengah yang terus hadir  di tengah persaingan yang ketat itu. Dia telah hadir lebih dari sepuluh tahun lalu. Kendati berdekatan dengan mal Taman Anggrek, Citraland masih terus bertahan dan meraih untung.  Bagaimana strategi manajemen citraland mememangkan persaingan itu?



Sistematika Penulisan:

1.Pengantar

-          latar belakang masalah
-          Rumusan Masalah

2.Pembahasan

  - Persaingan Mal papan tengah: Citraland, PIM 1, Sarinah
  - Karakter Citraland: keunggulan dan kelemahan
  -Peluang dan tantangan


  1. Penutup
Kesimpulan: misalnya Citraland merupakan mal yang em

Sumber Penulisan:

  1. Pengunjung.
  2. Pedagang atau penyewa ruang
  3. Petugas/pekerja mal/masyarakat sekitar
  4. Event organiser
  5. Manajemen, Humas Mal
  6. Pemilik Mal
  7. Pusat informasi properti (REI, Pusat Kajian properti dll)
  8. Kliping media dan buku referensi.


Tatanan, Pengendalian, dan Institusi Sosial

 
Tatanan Sosial


Kita hidup dalam suatu lingkungan sosial yang bukan apa adanya. Lingkungan sosial tersebut mempunyai sejumlah prasyarat yang menjadikannya dapat terus berjalan dan bertahan. Prasyarat- prasyarat inilah yang kita sebut tatanan sosial (sosial order). Konsep tatanan sosial merupakan konsep dasar yang harus dipahami dengan baik oleh mereka yang mempelajari sosiologi. Karena konsep tatanan sosial ini terkait erat dengan konsep-konsep dasar lainnya. Apabila Anda memahami dengan baik konsep-konsep dasar ini, maka Anda akan dapat menganalisis fenomena sosial dengan baik.

Prinsip yang bisa kita ambil adalah adanya pengaturan dan ketertataan dari suatu lingkungan sosial. Atas dasar pemenuhan kebutuhan, individu-individu membentuk lingkungan sosial tertentu, di mana individu-individu tersebut saling berinteraksi atas dasar status dan peranan sosialnya yang diatur oleh seperangkat norma dan nilai. Suatu lingkungan sosial di mana individu-individunya saling berinteraksi atas dasar status dan peranan sosial yang diatur oleh seperangkat norma dan nilai diistilahkan dengan tatanan sosial (social order). Demikian juga dengan tatanan sosial. Semua persyaratan, antara lain adanya sejumlah individu, interaksi, status dan peranan, nilai dan norma serta proses harus terpenuhi sehingga tatanan sosial tersebut bisa tetap berlangsung dan terpelihara.

Pengendalian Sosial

 

Pengendalian sosial adalah merupakan suatu mekanisme untuk mencegah penyimpangan sosial serta mengajak dan mengarahkan masyarakat untuk berperilaku dan bersikap sesuai norma dan nilai yang berlaku. Dengan adanya pengendalian sosial yang baik diharapkan mampu meluruskan anggota masyarakat yang berperilaku menyimpang / membangkang.


Berikut ini adalah cara-cara yang dapat dilakukan untuk mengendalikan sosial masyarakat :
1. Pengendalian Lisan (Pengendalian Sosial Persuasif)
Pengendalian lisan diberikan dengan menggunakan bahasa lisan guna mengajak anggota kelompok sosial untuk mengikuti peraturan yang berlaku
.
2. Pengendalian Simbolik (Pengendalian Sosial Persuasif)
Pengendalian simbolik merupakan pengendalian yang dilakukan dengan melalui gambar, tulisan, iklan, dan lain-lain. Contoh : Spanduk, poster, Rambu Lalu Lintas, dll.

3. Pengendalian Kekerasan (Pengendalian Koersif)
Pengendalian melalui cara-cara kekerasan adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk membuat si pelanggar jera dan membuatnya tidak berani melakukan kesalahan yang sama. Contoh seperti main hakim sendiri.

Institusi Sosial

Elemen yang lain dari struktur sosial adalah institusi sosial. Institusi sosial berkaitan erat dengan upaya individu untuk memenuhi kebutuhannya, di mana untuk itu individu berusaha membentuk dan mengembangkan serangkaian hubungan sosial dengan individu lainnya. Serangkaian hubungan sosial tersebut terlaksana menurut pola-pola tertentu. Pola resmi dari suatu hubungan sosial ini terjadi di dalam suatu sistem yang disebut dengan sistem institusi sosial.
Judson R. Landis (1986: 255) mendefinisikan institusi sosial sebagai norma-norma, aturan-aturan, dan pola-pola organisasi yang dikembangkan di sekitar kebutuhan-kebutuhan atau masalah-masalah pokok yang terkait dengan pengalaman masyarakat. Dari definisi ini maka bisa kita pahami bahwa institusi sosial merujuk pada upaya masyarakat untuk memenuhi kebutuhan atau untuk mengatasi masalah. Dalam rangka memenuhi kebutuhan atau mengatasi masalah tersebut, maka kita jumpai banyak sekali institusi sosial dalam masyarakat. Besar kecilnya sosial yang ada di masyarakat sangat tergantung pada sederhana dan kompleksnya kebutuhan atau masalah dari masyarakat tersebut. Para sosiolog telah berusaha membuat penggolongan institusi sosial yang ada di masyarakat atas dasar fungsi dari institusi sosial tersebut.

Rabu, 06 Oktober 2010

KEBUDAYAAN DAN MASYARAKAT


Masalah kebudayaan juga diperhatikan dalam sosiologi, karena kebudayaan dan masyarakat manusia merupakan dwi tunggal yang tak terpisahkan. Istilah kebudayaan berasal dari kata sangsekerta buddhayah, merupakan bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti budi atau akal. Culture berasal dari bahasa latin yang berarti kebudayaan,bersasal dari bahasa latin colere artinya mengolah atau mengerjakan.
Kebudayaan ialah semua hasil karya, rasa dan cita-cita masyarakat. Banyak pendapat para sarjana tentang unsur-unsur kebudayaan, oleh C.Kluckhohn dianalisis dengan menunjuk pada inti pendapat-pendapat sarjana, yang menyimpulkan adanya tujuh unsur kebudayaan yang dianggap sebagai cultural universal yaitu :
• Peralatan dan perlengkapan hidup manusia.
• Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi.
• Sistem kemasyarakan.
• Bahasa.
• Kesenian.
• Sistem pengetahuan.
• Religi.
Ralph Linton memecahkan culture universal tersebut diatas kedalam unsur-unsur yang lebih kecil lagi, yang terdiri dari :
• (cultural) aktiviti.
• Trait complex.
• Trait.
• Items.
Kaidah-kaidah kebudayaan berarti peraturan tentang tingkah laku atau tindakan yang harus dilakukan dalam suatu keadaan tertentu. Dengan demikian, maka kaidah sebagai bagian kebudayaan mencakup tujuan kebudayaan, maupun cara-cara yang dianggap baik untuk mencapai tujuan tersebut. Kaidah- kaidah kebudyaan mencakup peraturan-peraturan yang beraneka warna, yang mencakup bidang yang luas sekali. Akan tetapi untuk kepentingan penelitian masyarakat maka secara sosiologis dapat dibatasi pada empat hal yaitu :
• Kaidah-kaidah yang dipergunakan secara luas dalam suatu kelompok manusia tertentu.
• Kekuasaan yang memperlakukan kaidah-kaidah tersebut.
• Unsur-unsur formal kaidah itu.
• Hubungan dengan ketentuan-ketentuan hidup lainnya.
Kebudayaan berguna bagi manusia yaitu untuk melindungi diri terhadap alam, mengatur hubungan antara manusia dan sebagai wadah dari segenap perasaan manusia.
Setiap kebudayaan mempunyai sifat-sifat hakikat sebagai berikut :
• Kebudayaan terwujud dan tersalurkan dari prilaku manusia.
• Kebudayaan telah ada terlebih dahulu mendahului lahirnya suatu generasi tertentu dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan.
• Kebudayaan diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah laku manusia.
• Kebudayaan mencakup aturan-aturan yang berisi kewajiban, tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak, tindakan-tindakan yang dilarang dan tindakan-tindakan yang diizinkan.
Pembentukan kepribadian individu dipengaruhi oleh faktor-faktor kebuyaan, organisme biologis, lingkungan alam dan lingkungan sosial individu tersebut. Tak ada kebudayaan yang statis, setiap kebudayaan memiliki dinamika, gerak tersebut merupakan akibat dari gerak masyarakat yang menjadi wadah kebudayaan. Alkuturasi merupakan proses dimana suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu, dihadapkan pada unsur-unsur suatu kebudayaan asing yang berbeda sedimikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu dengan lambat laun diterima dan diolah kedalam kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri. Alkuturasi merupakan suatu contoh gerak kebudayaan.

Huruf dan Peranannya dalam Komunikasi


Huruf dan Peranannya dalam Komunikasi

Tulisan ini sengaja saya angkat, sebagai bentuk keprihatinan saya terhadap
degradasi rasa untuk menghargai sebuah cara penulisan huruf beberapa waktu
belakangan ini. Tentunya tulisan ini diharapkan dapat memberi manfaat, dan
dapat diambil sisi positifnya sebagai bahan pembelajaran untuk kita bersama.
Tulisan ini tanpa ada maksud untuk mendiskritkan beberapa kalangan tertentu,
terutama pihak yang menamakan dirinya “anak gaul”.

4kU m3Nc1nt41mU 54Y4n6…

Gaya penulisan di atas, tentunya sudah tak asing lagi dalam penglihatan kita
akhir-akhir ini. Sebuah gaya penulisan subversif yang mendobrak gaya
penulisan yang wajar. Ketika saya pertama kali membaca gaya penulisan ini,
terus terang saya mengalami kebingungan dan lambat respon terhadap maksud
yang ingin disampaikan. Belum lagi, ketika mencoba gaya penulisan ini
sendiri, saya merasakan ketidak efisienan waktu (mungkin belum terbiasa),
begitu lamanya, dan begitu bingungnya yang saya rasakan.


Huruf dan Angka

Huruf (alpha) itu tergantung dari aksaranya. Karena aksara merupakan
sebuah kebudayaan dari huruf itu sendiri. Ada aksara Yunani, Latin, Kanji
dan lainnya. Namun secara aksara universal, telah diketahui bahwa aksara itu
terdiri dari 26 huruf, yaitu dari a-z. Tujuan huruf dibuat, agar menjadi
ruang dimana didalamnya kita dapat meracik kata hingga keluarlah bahasa yang
akan menjadi penyampai pesan untuk berkomunikasi dengan sesama (dalam hal
ini sesama manusia)

Sedangkan angka (numeric), masih merupakan bagian dari aksara seperti
halnya huruf, dan mempunyai kedudukan yang sama dan sejajar dengan huruf.
Namun, angka ini digunakan untuk menyatakan bilangan, jumlah, atau hal-hal
lain yang bersifat matematis.

Dalam perkembangan selanjutnya, akhirnya munculah alphanumeric, yaitu
sebuah penulisan yang menggabungkan huruf dan angka menjadi sebuah kumpulan
aksara yang digunakan sebagai machine language, sebuah bahasa komunikasi
antar mesin (dalam hal ini komputer), untuk pemrosesan data.


Huruf itu Identitas

Huruf, adalah unsur terkecil dari sebuah tulisan. Huruf adalah huruf itu
sendiri, tak bisa dibagi kedalam unsur lain yang lebih kecil. Masing-masing
huruf mempunyai identitas ruangnya tersendiri, atau dalam kata lain huruf
mempunyai kelaminnya masing-masing. Huruf adalah identitas dasar pembentuk
kata, kata ini merupakan karakter dari identitas tersebut, dimana nanti
lewat kata lah lahir sebuah kalimat. Kalimat inilah yang dibawa oleh
kendaraan bernama “Bahasa” untuk menyampaikan maksud atau pesan dari untaian
huruf-huruf tersebut.

Namun, tidak cukup sampai berhenti sampai disitu saja, “Bahasa” sebagai
sebuah jembatan untuk komunikasi, tentunya pasti menyangkut 2 pihak, yaitu
pihak pemberi dan penerima. Disinilah, lahir efek / dampak dari komunikasi
tersebut. Kadang kita lupa, dan sebatas hanya mementingkan penyampaiannya
saja, tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan dari penyampaian tersebut.
Tentunya, dampak tersebut harus bersifat positif, dalam artian harus mampu
memberi kesempatan untuk ruang-ruang inspirasi menjadi lebih terbuka bagi
sekitar, hingga secara tak langsung mampu menggerakkan pikiran dan imajinasi
untuk ikut bergerak positif juga.

Sangat disayangkan, apabila proses penyampaian itu tak mempunyai kekuatan
untuk menyentuh respon objek yang ingin disampaikan. Yang terjadi akhirnya
komunikasi itu menjadi tidak efektif dan efisien, dan tanpa membuka
ruang-ruang baru yang seharusnya mampu mengembangkan ruang-ruang sosialisasi
menjadi lebih berkembang.


Manipulasi Huruf dan Dampaknya


Seperti yang saya katakan di atas, bahwa huruf itu identitas/kelamin.
Seperti halnya pada manusia, memanipulasi identitas/kelamin, tentunya akan
membawa dampak bagi perubahan karakter dari seseorang tersebut, dan itu tak
dapat dipungkiri. Hal tersebut juga berlaku pada manipulasi huruf, dan
tentunya akan merubah karakter dari kata, dan pasti mengubah penyampaian
pesan tersebut.

Hal ini memang terlihat sepele, namun mari kita dedah beberapa kasus
berikut:

4kU m3Nc1nt41mU 54Y4n6

maksud tulisan di atas sebenarnya, pada dasarnya adalah “aku mencintaimu
sayang”, namun telah dilakukan manipulasi huruf vokal menjadi angka, dan ada
beberapa huruf juga yang ditulis huruf kapital. Lantas, secara etika apakah
kita mau membohongi hati kita untuk membaca kalimat di atas sama seperti
membaca “aku mencintaimu sayang”? Jika saya jadi anda, saya tidak akan
membaca tulisan tersebut menjadi “aku mencintaimu sayang”, karena secara
harfiah, seharusnya tulisan tersebut dibaca menjadi:

"empatku mtigancsatuntempatsatumu limaempatyaempatnenam"

mengapa begitu?, karena secara harfiah, “4” bukanlah “A”, begitu seterusnya.
Seperti saya tegaskan di atas, bahwa angka dan huruf adalah ruang yang
berbeda, dan mempunyai unsur makna tersendiri. Apakah mungkin kita mau
membohongi dan membodohi diri kita sendiri yang telah diberi karunia berupa
akal untuk memahami huruf dan angka, dengan melakukan gaya penulisan seperti
itu?. Ketika kita membohongi dan membodohi diri kita, maka secara tak
langsung, kita sudah merendahkan diri dan tidak menghargai identitas kita
apa adanya yang telah digariskan.

Lalu, dengan hasil kalimat seperti di atas, pesan apakah tersampaikan? Saya
pikir anda akan menjawab TIDAK, jika anda masih menghargai diri anda
sendiri. Sehingga menurut saya, kalimat di atas gagal, atau tidak sempurna
melakukan tugasnya, karena ia hanya menyampaikan pesan semata, tanpa
memberikan dampak apapun, karena arti dari tulisan tersebut sangat-sangat
TIDAK JELAS.

2. akU meNcintaimU saYang

Gaya Penulisan pada poin 2, sudah lebih baik dibandingkan dengan gaya
penulisan pada poin 1. Namun, perlu diingat, setiap identitas pastilah
mempunyai emosi, emosi inilah yang akan menunjukkan karakter dari
masing-masing kata tersebut. Penempatan emosi yang salah dan
setengah-setengah, akan menimbulkan kebingungan dan kerancuan terhadap
respon si penerima pesan.

Huruf kapital identik dengan penegasan, gejolak, pengkultusan, dan
simbolitas. Lalu, dengan penulisan seperti di atas, banyak saya menemui
penempatan yang salah, hingga tentunya penyampaian emosi dibalik pesan akan
bias, dan tidak jelas, apa rasa sebenarnya dari pesan tersebut,
bermain-mainkah? Seriuskah? Penegasankah?, sangat-sangat tidak jelas.

Tentunya, hanya dengan peletakan dan porsi yang tepat, akan memberikan
sebuah makna dan emosi yang jelas dari sebuah karakter pesan tersebut.


Penutup
Huruf itu Identitas, maka hargai Huruf sebagai bentuk kita menghargai
identitas diri kita juga. Jika harus melakukan manipulasi, lakukan dengan
porsi yang tepat dan kebijakan emosi, agar karakter dari penyampaian pesan
tetap terjaga, sehingga dampak dari pesan itu dapat dirasakan dengan tepat
oleh sesama dan komunikasi pun dapat dinyatakan BERHASIL.

Demikianlah tulisan ini saya buat, dengan segala kekurangannya. Semoga dapat
menjadi bahan diskusi yang sehat. Kritik sangat diharapkan untuk bahan
pengembangan bersama ke depan agar menjadi pribadi yang lebih baik. Mohon
maaf, bila ada beberapa pihak yang kurang berkenan dengan tulisan ini,
sekali lagi kesimpulan akhir diserahkan kepada pembaca, semoga bermanfaat.




Kasus Gizi Buruk

      Jika kita membuka Koran harian atau koran online, seringkali muncul berita tentang kasus balita gizi buruk. Bahkan beberapa waktu yang lalu masih disebut (oleh media massa) sebagai busung lapar.

       Kini, kasus gizi buruk ternyata masih ada. Bahkan di Yogyakarta dan Bali, yang mempunyai angka prevalensi masalah gizi balita terendah (Riskesdas 2007). Prevalensi status gizi balita < -2 SD berdasarkan indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U) di Provinsi Bali sebesar 11.4%, sedangkan DIY sebesar 10.0%. Bandingkan dengan angka Nasional sebesar 18.4%, dan angka tertinggi di Provinsi NTT sebesar 33.6%. Tahun 2009, di Bali ditemukan 49 kasus dan di Yogyakarta 27 kasus.

        Menurut hasil pemantauan Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Kementerian Kesehatan, selama tahun 2005 sampai dengan 2009, jumlah temuan kasus balita gizi buruk amat berfluktuasi. Tahun 2005-2007 jumlah kasus cenderung menurun dari 76178, 50106, dan 39080. Akan tetapi tahun 2007 dan 2008 cenderung meningkat yaitu 41290 dan 56941.

       Yang menarik, terdapat empat provinsi yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur dan Gorontalo yang selalu hadir berturut-turut dari 2005-2009. Provinsi NTT pada tahun 2005, 2007 dan 2008, menduduki posisi teratas sedangkan tahun 2006 dan 2009 masing-masing ditempati Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Keempat provinsi tersebut selama 5 tahun berturut-turut (2005-2009) masuk ke dalam kategori 10 provinsi dengan kasus tertinggi. Kondisi ini sebaiknya menjadi bahan pertimbangan untuk menempatkan keempat provinsi tersebut sebagai prioritas utama upaya penanggulangan gizi buruk. Berikut gambaran perkembangan jumlah kasus di empat provinsi.






Sumber : http://gizi.net/2010/07/kasus-gizi-buruk-empat-provinsi-tak-pernah-absen/